Sabtu, 20 Februari 2016

“PERATURAN DAERAH ADALAH UNDANGUNDANG YANG BERSIFAT LOCAL “
Peraturan Daerah (perda) adalah salah satu bentuk Undang-Undang atau (statute) dikenal dalam literature (local state) “local wet” yaitu undang-undang yang bersifat local . Dalam istilah literature dikenal pula adanya “local constitution atau local grandwat” maka peraturan daerah juga dapat dilihat sebagai bentuk undang yang bersifat local, mengapa demikan ? meskipun tata urutannya menurut ketentuan yang diatur dalam pasal 7 undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang peraturan perundang-undangan menyebutkan jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: a) Undang-udang dasar Negara Republic Indonesia tahun 1945 b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat c) Undang-undang/ peraturan pemerintah penganti undang-undang d) Peraturan pemerintah e) Peraturan presiden f) Peraturan daerah provinsi dan g) Peraturan daerah kabupaten kota Peraturan daerah di bentuk oleh lembaga legislative daerah bersama semua kepala pemerintahan daerah, artinya apa proses pembentukanya sama dengan proses pembentukan undang-undang, peraturan daerah juga merupakan produk legislative yang melibatkan peran para wakil-wakil rakyat yang di pilih secara langsung oleh rakyat yang berdaulat. Sebagai produk para wakil rakyat bersama dengan pemerintah maka peraturan daerah itu seperti halnya undang-undang dapat disebut sebagai produk legislative (legislative acts) sedangkan peraturan-peraturan dalam bentuk lainnya adalah produk regulasi atau produk regulative (executive acts) Perbedaan antara peraturan daerah itu dengan undang-undang hanya dari segi lingkup teritorial atau wilayah berlakunya peraturan itu, bersifat nasional atau local, undang-undang berlaku secara nasional, sedangkan peraturan daerah hanya berlaku dalam wilayah pemerintahan yang bersangkutan saja yaitu dalam daerah provinsi, wilayah daerah kabupaten, atau wilayah daerah kota yang bersangkutan masing-masing, karena itu peraturan daerah itu tidak ubahnya adalah “local law” atau “local wet” yaitu undang-undang bersifat local (local legislation ) Peraturan daerah juga tidak salah karena UUD Negara Repubik Indonesia tahun 1945, tidak menyebutkan istilah undang-undang pasal 18 ayat (6) undang-undang dasar 1945, hanya menentukan “pemerintah daerah berhak menetapkan peratuan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Penulisan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain dalam pasal 18 ayat (6) undang-undang dasar 1945, tidak menggunakan huruf besar, artinya “peraturan daerah yang dimaksud oleh undang-undang dasar 1945 itu bukanlah mutlak harus dijadikan nama resmi dari bentuk peraturan daerah tersebut. Pemberian nama resmi atau penyebutan baku untuk pengertian peraturan daerah sebagai produk legislative daerah, dan juga mempunyai sifat-sifat sebagai apa yang dipahami di dunia ilmiah sebagai local legislative, local law, local wet, dan/ atau undang-undang local. Menurut ketentuan yang diatur dalam pasal 236 dan pasal 237 undangundang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah berlaku mengikat untuk kepentingan umum Dari segi pembentukannya sangat jelas ditentukan bahwa peraturan daerah itu dibentuk oleh lembaga legislative daerah bersama-sama kepala pemerintahan daerah, hal ini mirip dengan pembentukan undang-undang di tingkat nasional yang di bentuk oleh DPR RI, setelah di bahas bersama dan mendapat persetujuan bersama antara DPR dengan Presiden yang selanjutnya di sahkan sebagai mana mestinya oleh Presiden, dengan demikian peraturan daerah itu adalah produk legislative daerah oleh karna peraturan daerah tersebut merupakan produk legislative sebagai mana diatur dalam pasal 236-pasal 253 UU Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. Didalam proses pembentukannya undang-undang dan peraturan daerah itu sama-sama terkandung unsur unsur system perwakilan rakyat yang dipilih secara langsung oleh rakyat yang berdaulat melalui pemilihan umum karena kepala daerah dewasa ini juga dipiih langsung oleh rakyat yang berdaulat melalui pemilihan umum, maka baik undang-undang maupun peraturan daerah dapat dikatakan sama-sama merupakan produk system demokrasi, baik ditingkat local ataupun tingkat nasional Didalam system demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung yang diterapkan untuk mengisi jabatan-jabatan di lembaga legislative dan exsekutif tersebut, peraturan partai politik sangat menonjol, meskipun calon presiden dan calon kepala daerah di ajukan sebagai perseorangan, akan tetapi yang mencalonkan untuk menjadi peserta pemilihan umum adalah partai politik atau gabungan partai politik. Kaerena itu, dalam pencalonan untuk pengisian cabatan di lembaga exsekutif dan lembaga legislative baik di tingkat daerah ataupun di tingkat pusat, peranan partai politik sangat menonjol dengan demikian undangundang dan peraturan daerah sama-sama merupakan produk politk yang mencerminkan pergulatan kepentingan diantara cabang-cabang kekuasaan legislative dan exsekutif baik di tingkat daerah maupun pusat, tidak boleh dinilai atau diuji oleh sesama lembaga politik, pengujian undang-undang dan peraturan daerah itu harus dilakukan melalui mekanisme “judicial review “ degan melibatkan peranan hakim yang objektif dan imparsial sebagi pihak ketiga. Apabila kita konsisten dengan pengertian UU Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, maka mau tidak mau kita harus mengartikan bahwa peraturan daerah itu termasuk kedalam pengertian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sebagai mana di maksud dalam pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 lagi pula jika dikaitkan dengan pengertian “ primary legislation “ versus “secondary legislation “ yang dapat dikatakan sebagai primary legislation adalah undang-undang, sedangkan peraturan daerah (perda) adalah produk secondary legislation. Sebagai secondary legislation peraturan daerah itu merupakan bentuk “delegated legislation” sebagai peraturan pelaksana undang-undang (suberdinate legislation) karena itu, kedudukanya sudah seharusnya ditempatkan langsung di bawah undang-undang yang ditentukan oleh pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 dan termasuk objek pengujian yang menjadi kewenagan Mahkama Agung Republik Indonesia . JO pasal 9 ayat (2) undangundang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundangundangan. Dalam perspektif system Negara kesatuan atau unitary state (eenhidestaat) adalah logis untuk mengembangkan pengertian bahwa pemerintah atasan berwenang melakakukan control terhadap unit pemerintah bawahanya. Artinya apa ? pemerintahan pusat dalam konteks NKRI berdasarkan UUD 1945, tentu dapat diketahui mempunyai kewenangan untuk mengontrol unit-unit pemerintahana daerah provinsi ataupun pemerintahan daerah kabupaten kota Demikian pula pemerintahan daerah provinsi juga dapat di beri kewenagan tertentu dalam rangka mengendalikan jalannya pemerintahan daerah kabupaten kota di bidang pengaturannya yang dikendalikan dan / atau dikontrol oleh pemerintah atasan (biro hukum sekertariat daerah provinsi) antara lain adalah control norma-norma hukum yang di tetapkan oleh pemerintah bawahan melalui apa yang di kenal sebagai “ General norm control mechanism” Mekanisme control norma hukum inilah yang biasa disebut dengan system “Abstrac review “ atau pengujian abstrak yang dapat dilakukan oleh lembaga exsekutif, lembaga legislative, ataupun oleh lembaga peradilan. Jika abstrak review itu dilakukan oleh lembaga exsekutif, misalnya pengujian oleh pemerintah pusat atau putusan daerah provinsi maka mekanisme demikan disebut “escutive review ‘ jika abstrack review dilakukan oleh DPRD dan pemerintah daerah yang menempatkan peraturan daerah, yang menetapkan peraturan daerah itu sendiri.Maka mekanismen peninjauan kembali semacam itu disebut legislative review yang dapat menghasilkan perubahan (amandement) peraturan jika pengujian itu dilakukan oleh pengadilan, maka hal itu biasa disebut sebagai “judicial review”. Disamping abstrak review mekanisme control norma juga dapat dilakukan melalui prosedur abstrack review, yaitu control dilakukan sebelum norma hukum yang bersangkutan mengikat untuk umum, misalnya sebelum rancangan undang-undang disahkan oleh parlemen tetapi sebelum di undangankan sebagai mana mestinya pemerintahan atasan diberi kewenangan untuk menguji,menilai, atau bahkan menolak pengesahan peraturan pemerintahan bawahan. Mekanisme demikian dapat disebut sebagai “exsekutive abstrack preview” oleh pemerintahan atasan dengan demikian dapat ditentukan bahwa rancangan peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan bersama oleh kepala pemerintahan daerah dan DPRD setempat, sebelum di sahkan diajukan dulu kepada pemerintahan atasan, misalnya untuk peraturan daerah kabupaten, diajukan kepada gubernur , atau untuk peraturan daerah provinsi diajukan kepada presiden melalui menteri dalam negeri. Kewenangan untuk melakukan “exsekutiv preview” itulah yang sebaiknya diberikan kepada pemerintahan atasan, bukan mekanisme “review” atau peraturan daerah yang sudah berlaku mengikat untuk umum . jika suatu peraturan yang di bentuk oleh lembaga exsekutive dan legislative yang samasama dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum dibatalkan hanya oleh pejabat exsekutif tingkat atas, berarti prinsip Negara kesatuan dijadikan dalil untuk mengabiri aspirasi rakyat dengan tindakan yang semata-mata didasarkan oleh pertimbangan politk . Oleh karena itu, terhadap peraturan daerah sebagai produk legislative adalah sebaiknya di preview oleh pemerintahan atasan apabila statusnya masih sebagai rancangan peraturan daerah yang belum mengikat untuk umum . jika peraturan daerah itu sudah ditetapkan dan sudah mengikat untuk umum maka sebaiknya yang mengujinya adalah lembaga peradilan sebagai pihak ketiga yang sama sekali tidak terlibat dalam proses pembentukan peraturan daerah yang bersangkuatan dan / atau dibatalkan sendiri oleh legislative melalui rapat paripurna DPRD, bila mana telah ditemukan dalam perda yang di anggap bertentangan denga peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau bertentangan dengan kepentingan umum. Prinsip ketidak terlibatan ini penting, karena betapapun para pejabat dalam susunan pemerintahan atasan bisa diangkat atas pertimbangan yang bersifat politik, presiden dan wakil preseidan, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati. Serta walikota dan wakil wali kota adalah para pejabat public yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, yang pencalonannya di dukung oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dengan demikian jika di biarkan suatu peraturan daerah yang telah berlaku mengikat untuk umum yang di tetapkan oleh para politikus yang duduk di lembaga eksekutif dan legislative ditingkat pemerintahan bawahan, di batalkan lagi oleh para politikus yang duduk di lembaga eksekutif tingkat pemerintahan atasan berarti peraturan daerah di batalkan hanya atas dasar pertimbangan politik belaka, hal demikian itu sama saja dengan membenarkan bahwa supermasi hukum di tundukkan di bawah supermasi politik. Oleh karena itu peranan pemerintahan atasan misalnya pemerintah pusat terhadap pemerintahan daerah propinsi dan kabupaten / kota ataupun pemerintahan provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah terhadap pemerintahan daerah kabupaten / kota, cukup dikaitkan dengan prosedur exsekutif abstrack preview saja bukan dengan exsekutif abstrack review pemerintah pusat cukup diberi wewenang untuk menyatakan menolak pengesahan rancangan peraturan daerah provinsi yang telah mendapatkan persetujuan bersama antara gubernur dan DPRD provinsi dalam tingkat tertentu, misalnya dalam waktu 30 hari sejak rancangan itu diterima oleh menteri dalam negeri. Untuk rancangan peraturan daerah kabupaten / kota wewenang semacam itu dapat diberikan kepada gubernur, kepala pemerintahan daerah provinsi sehinga tugas gubernur dapat lebih di efektipkan terhadap pemerintahan daerah bawahanya. Arisyamsyah, SH selaku Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah Kab.Pinrang sekaligus Ketua Badan Legislasi DPRD Kab.Pinrang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar